I. Pendidikan Kewarganegaraan Negara Indonesia
Pendidikan kewarganegaraan adalah suatu pendidikan yang ingin membina seseorang yang sudah memiliki status kewarganegaraan dan menjadi warga negara yang baik. Jadi, pendidikan kewarganegaraan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia (WNI). Dalam dunia pendidikan di Indonesia memiliki 12 bina aspek sebagai berikut:
1. Pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Berbudi pekerti luhur
3. Berkepribadian
4. Berdisiplin
5. Bekerja keras
6. Tangguh
7. Mandiri
8. Bertanggung jawab
9. Cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani
10. Mampu menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air
11. Mampu menumbuhkan dan mempertebal semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial
12. Dapat menumbuhkan rasa percaya diri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif
II. Pendidikan Kewarganegaraan Di Negara Asing
Pendidikan Kewarganegaraan di Perancis
Sejarah Singkat Pendidikan Kewarganegaraan di Perancis
Di Perancis, Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education) secara tradisional telah menjadi salah satu agenda politik yang penting, disebabkan oleh kebutuhan untuk mengkonsolidasikan dukungan nasional bagi Republik Ketiga (Third Republic) ketika demokrasi dikembalikan pada tahun 1871.
Pendidikan Kewarganegaraan pada Sistem Pendidikan di Perancis
Pendidikan kewarganegaraan bukanlah subyek akademik konvensional. Subyek-subyek lain, seperti sejarah dan geografi, memperlengkapinya dengan referensi kultural dan saintifik. Pendidikan kewarganegaraan mengambil arti penuhnya ketika ia dihubungkan dengan kehidupan sekolah, dan khususnya ketika berkenaan dengan aturan-aturan pemerintah yang mengatur hak-hak pelajar dan dewan sekolah lanjutan atas.
Perbandingan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dengan Perancis
Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) kurang, bahkan tidak merefleksikan cita sipil yang demokratis. Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan, misalnya melalui Penataran P4 yang banyak dilakukan untuk memaksakan visi dan misi pemerintah kepada rakyat, juga pada pembungkaman masyarakat demi kesejahteraan semu akan dukungan terhadap keputusan pemerintah. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Atau dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi Pancasila. Di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil, khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang
Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian besar Jepang terutama difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang dalam perang, menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.
Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.
Konteks Kelahiran
Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana direncanakan sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang. Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Demikian pula perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata pelajaran ini telah bergeser penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warganegara (Ikeno, 2005:93).
Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.
Landasan Pengembangan
Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepangtidak dapat dilepaskan dari konsep warganegara (komin, citizen) dan kewarganegaraan (citizenship). Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana konsep-konsep tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai berikut: “Related to the definition of ‘citizen’, ‘citizenship’ has a much wider meaning and can be used differently in different contexts”. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa definisi antara citizen dan citizenship dapat memiliki arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan dalam konteks yang berbeda.
Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
1. to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah negara dan prinsip kedaulatan)
2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara)
3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas)
4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban)
sumber : http://bazit.wordpress.com/2011/03/01/perbandingan-kewarganegaraan-indonesia-dengan-negara-lain/
Pendidikan kewarganegaraan adalah suatu pendidikan yang ingin membina seseorang yang sudah memiliki status kewarganegaraan dan menjadi warga negara yang baik. Jadi, pendidikan kewarganegaraan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia (WNI). Dalam dunia pendidikan di Indonesia memiliki 12 bina aspek sebagai berikut:
1. Pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Berbudi pekerti luhur
3. Berkepribadian
4. Berdisiplin
5. Bekerja keras
6. Tangguh
7. Mandiri
8. Bertanggung jawab
9. Cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani
10. Mampu menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air
11. Mampu menumbuhkan dan mempertebal semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial
12. Dapat menumbuhkan rasa percaya diri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif
II. Pendidikan Kewarganegaraan Di Negara Asing
Pendidikan Kewarganegaraan di Perancis
Sejarah Singkat Pendidikan Kewarganegaraan di Perancis
Di Perancis, Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education) secara tradisional telah menjadi salah satu agenda politik yang penting, disebabkan oleh kebutuhan untuk mengkonsolidasikan dukungan nasional bagi Republik Ketiga (Third Republic) ketika demokrasi dikembalikan pada tahun 1871.
Pendidikan Kewarganegaraan pada Sistem Pendidikan di Perancis
Pendidikan kewarganegaraan bukanlah subyek akademik konvensional. Subyek-subyek lain, seperti sejarah dan geografi, memperlengkapinya dengan referensi kultural dan saintifik. Pendidikan kewarganegaraan mengambil arti penuhnya ketika ia dihubungkan dengan kehidupan sekolah, dan khususnya ketika berkenaan dengan aturan-aturan pemerintah yang mengatur hak-hak pelajar dan dewan sekolah lanjutan atas.
Perbandingan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dengan Perancis
Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) kurang, bahkan tidak merefleksikan cita sipil yang demokratis. Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan, misalnya melalui Penataran P4 yang banyak dilakukan untuk memaksakan visi dan misi pemerintah kepada rakyat, juga pada pembungkaman masyarakat demi kesejahteraan semu akan dukungan terhadap keputusan pemerintah. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Atau dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi Pancasila. Di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil, khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang
Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian besar Jepang terutama difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang dalam perang, menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.
Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.
Konteks Kelahiran
Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana direncanakan sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang. Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Demikian pula perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata pelajaran ini telah bergeser penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warganegara (Ikeno, 2005:93).
Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.
Landasan Pengembangan
Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepangtidak dapat dilepaskan dari konsep warganegara (komin, citizen) dan kewarganegaraan (citizenship). Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana konsep-konsep tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai berikut: “Related to the definition of ‘citizen’, ‘citizenship’ has a much wider meaning and can be used differently in different contexts”. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa definisi antara citizen dan citizenship dapat memiliki arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan dalam konteks yang berbeda.
Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
1. to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah negara dan prinsip kedaulatan)
2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara)
3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas)
4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban)
sumber : http://bazit.wordpress.com/2011/03/01/perbandingan-kewarganegaraan-indonesia-dengan-negara-lain/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar